Selasa, 13 Juli 2010

LUWUK LANGKUAS DIKEPUNG SAWIT


Memasuki Desa Luwuk Langkuas-Kabupaten Gunung Mas-Kalteng, Kita akan melihat aktivitas masyarakat yang sedang mengeringkan padinya di atas tikar-tikar yang terbuat dari purun. Saat KR mengunjungi desa tersebut, pekan keempat Mei 2010, anak-anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) baru saja pulang dari sekolah, ketika KR mengunjungi daerah tersebut siang itu. Karena KR mereasa daerah itu bukan kampung kelahiran, tentu saja tidak Ada kenalan yang bisa ditanyai. Salah satu pintu masuk untuk dapat mengetahui apa yang terjadi Dan siapa yang bisa dijumpai di sana, KR memanfaatkan siswa SMP itu untuk bertanya. "Di mana rumah Bapak Rini?" tanya KR. "Oh, ya saya tahu, di daerah hilir. Saya dapat mengantar kalian!" jawab salah seorang siswa SMP itu.

Luwuk Langkuas adalah salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas-Kalteng. Desa ini berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Rungan digunakan sebagai sarana transportasi bagi warga. Namun karena kini sudah Ada jalan darat sepanjang 198 Km yang menghubungkan Desa Luwuk Langkuas dengan Kota Palangka Raya maka transportasi lewat Sungai adalah alternatif berikutnya. Sungai Rungan, saat ini dapat ditempuh dari Kota Palangka Raya, menggunakan jalan darat sepanjang 198 km, dengan jarak tempuhnya sekitar lima jam.

Perjalanan KR ke Desa Luwuk Langkuas itu, terkait adanya informasi bahwa Ada informasi penolakan perusahaan sawit dari masyarakat yang menghuni daerah itu. Setelah KR berhasil bertemu dengan sejumlah warga termasuk Emu T. Rumbang, yang dipanggil Bapak Rini, tempat dimana diskusi antar warga membahas sawit sedang berlangsung. Dari situlah KR semakin jelas mengetahui, bahwa warga dengan tegas Dan bersikeras tidak mau menerima sejumlah perusahaan sawit, karena telah terbukti berdampak buruk pada kehidupan Dan kehancuran lingkungan warga setempat.

“Desa Kita ini akan terancam hancur dan rusak oleh masuknya perkebunan kelapa sawit,” ungkap Hadie warga setempat. Desa Luwuk Langkuas hanya memiliki luas wilayah 8.432 hektar. Hadie mengatakan, jangan membuat Desa Luwuk Langkuas semakin tidak Ada lahan untuk usaha masyarakat, terutama untuk berladang Dan berkebun.

Persoalan lain yang cukup mengganggu ungkap Markus warga setempat, adalah adanya Mafia tanah yang mengakui bahwa tanah sudah dimilikinya, namun dijual secara tumpang tindih kepada orang-orang desa. “Saya sudah ditipu dengan mempercayai oknum tersebut, uang saya sebanyak Rp 2 juta hilang begitu saja karena kelompok Mafia tanah ini,” jelas Markus dengan gusar.

Diskusi yang dihadiri KR itu berjalan hangat saat mereka menceritakan pengalaman masyarakat menghadapi masuknya perkebunan kelapa sawit di lahan-lahan yang sudah dikelola warga. “Pada tahun 2009 lalu, tujuh orang dari kami pernah mendatangi petugas dari perusahaan yang datang menggarap, agar menghentikan aktivitasnya di lahan kami,” jelas Markus. Srategi yang mereka lakukan itu menuruh Sihen saat itu cukup efektif. “Ternyata ini terbukti efektif di lapangan, namun apabila Kita lengah maka pihak perkebunan kelapa sawit akan kembali lagi,” tambah Sihen.

Di kesempatan lain, saat KR melihat air Sungai Rungan, warga juga mengeluh karena sungai tersebut sering terjadi banjir, airnya berwarna kecoklatan Dan keruh. Menurut masyarakat ini terjadi karena hutan-hutan sudah gundul akibat perkebunan kelapa sawit yang membabat hutan tanpa sisa untuk dijadikan lahan perkebunan.

Hadie menambahkan, Limbah dari perusahaan sawit yang mengalir Dan dibuang ke sungai menambah keruhnya air. Belum lagi beberapa usaha dari masyarakat yang membuka pertambangan emas tanpa ijin Dan menghasilkan limbah pasir yang terbuang.

Saat KR mengkonfirmasikan persoalan yang terjadi di Desa Luwuk Langkuas kepada Kepala Desanya Drs. Darwin, SE, mengatakan bahwa kehadirian perusahaan tersebut tanpa diketahui olehnya. “Kedatangan perusahaan kelapa sawit di daerah ini tidak secara terbuka, hal ini terbukti ketika saya baru mengetahuinya setelah perusahaan tersebut sudah berjalan,” kata Darwin. Ia mengakui mengetahui pencaplokan lahan oleh perusahaan sawit tanpa permisi itu, setelah warganya melaporkan perihal tersebut padanya.

“Saya pernah mengirim surat kepada perusahaan untuk mengatasi masalah ini Dan mengadakan pertemuan, hal ini ditanggapi secara serius oleh perusahaan dengan mengajak pihak kecamatan menemui saya bersama-sama dari perusahaan tersebut. Dan ketika itu perusahaan mengatakan bahwa mereka sudah mengantongi ijin dari Bupati Gunung Mas,” kata Darwin kepada KR di kediamannya.

Warga tampaknya belum mengetahui untung dan ruginya jika perkebunan sawit masuk di daerah mereka. Namun yang Ada dalam benak mereka adalah bagaimana saat itu juga mereka bisa memegang uang banyak. “Masyarakat di Luwuk Langkuas kebanyakan hanya ingin menjual tanahnya, padahal saya menyarankan agar memakai sistem plasma saja,” tambah Darwin. Memang, kata Darwin, bahwa sejauh itu perusahaan tidak memaksa warga untuk menjualnya. Karena itu Darwin berharap agar perusahaan mau terbuka dengan masyarakat. "Jangan memaksa, kalau masyarakat tidak mau menjual tanahnya," pungkas Darwin.

Hingga kini, warga terus mencari dukungan pada semua pihak yang mempunyai jiwa untuk selalu mau menyelamatkan hutan dan lingkungannya dari kerusakan karena semakin gencarnya perkebunan skala besar. Hanya warga yang mengalami masalahlah yang dapat merasakan betapa perihnya batin tatkala mereka harus kehilangan hak atas apa yang seharusnya mereka miliki.

Tulisan ini juga dimuat di majalah Kalimantan Review (KR)
Sumber foto:www.abc.net.au